Oleh Syanne Susita
Salah satu dari banyak pilihan taman tematis yang terdapat di Shenzen adalah Splendid China. Taman ini terbagi menjadi dua bagian, Folk Culture Village dan Miniature China. Awalnya, dua taman ini terpisah. Namun, sejak tahun 2003, mereka dijadikan satu.
Harga masuk taman ini 130 yuan (Rp 200 ribu). Sama dengan taman lainnya di Shenzen, perlu waktu satu hari penuh jika ingin mengelilingi taman ini.
Dari dua taman ini, kalau menurut saya, yang menarik adalah Folk Culture Village. Menyusuri “perkampungan” ini, kita seperti diajak untuk mengintip kehidupan sehari-hari berbagai suku di Tiongkok.
Setiap kampung selalu menampilkan aktivitas yang berbeda-beda. Arsitektur rumah ataupun bangunan di dalam masing-masing desa pun unik-unik. Sebagai negara empat musim dan letak geografis yang beragam, arsitektur bangunan pun mengikuti musim dan lokasi.
Di kampung suku Sui, misalnya. Arsitek rumahnya bertingkat dan atapnya dibuat dari ijuk kayu. Sepintas mengingatkan saya pada rumah Baduy yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu. Saya menyaksikan langsung beberapa orang lengkap dengan pakaian khas daerah mereka menyulam alas sandal dan tas.
Dari sekitar 57 perkampungan yang ada di Folk Culture Village ini, perkampungan Tibet dan suku etnis Wei lah yang paling mengesankan. Di perkampungan suku Tibet ini diperlihatkan jika tradisi orang Tibet yang memutar jejeran bel sambil berdoa sebelum memulai aktivitas apapun. Baju dan tarian mereka pun unik. Rutinitas menari biasanya menampilkan kekompakan kibasan rok panjang saat berputar.
Tarian suku Tibet menampilkan rutinitas berbeda, yaitu kibasan lengan baju yang dibuat panjang. Selain itu, gerakan tarian mereka pun terbilang lebih dinamis karena banyak menampilkan gerakan melompat dan berguling di lantai. Desain interior klenteng (Lamasery) pun lebih berwarna-warni. Lagi-lagi jejeran bel di depan klenteng yang membedakan klenteng Tibet dengan klenteng lainnya.
Sedangkan di kampung Wei, suguhan tarian dari suku Tiashan juga tidak kalah unik. Menampilkan musik Uyghur lengkap dengan gendang dan senandung musik dari Arab dan kostum warna-warni dan detail sulaman yang mengagumkan, sulit bagi saya untuk tidak menyukai tarian mereka.
Apalagi, wajah-wajah penari mereka yang terlihat agak “bule” karena letak daerah mereka yang dekat dengan Eropa Timur (Kazakhtan). Lucu melihat penabuh gendangnya yang berwajah Eropa tetapi postur tubuhnya tidak tinggi.
Suguhan menarik lain dari Folk Chinese Village ini adalah atraksi pacuan kuda yang menampilkan cerita sejarah salah satu dinasti Cina. Sayang, saya tidak bisa menangkap alur cerita dalam atraksi ini karena naratornya menggunakan bahasa Cina sepanjang pertunjukan. Namun, hal ini tidak terlalu mengganggu karena atraksi di pacuan kuda super luas itu sudah cukup mengagumkan.
Salah satunya adalah atraksi penunggang kuda berakrobatik di atas kuda yang berlari dengan kecepatan yang super kencang. Terlihat badan-badan penunggang kuda ini seringan bulu ayam. Entah itu penunggang perempuan, maupun laki-laki. Saya pun sempat terpikir kalau ilmu meringankan tubuh seperti di serial kungfu ketika saya tonton ketika masih kecil memang benar ada.
Atraksi-atraksi seperti ini tidak diputar setiap waktu. Itu sebabnya ada baiknya meminta peta taman dalam bahasa Inggris pada saat memasukki taman.
Menjelang malam, beberapa atraksi tidak bisa ditonton gratis. Ada biaya tambahan 20 yuan setiap atraksinya (parade pakaian Oriental & Tarian Naga dan Merak). Seperti juga taman hiburan lain, makanan dan minuman di sini cukup mahal. Untuk semangkuk mie, di kebanyakan kios makanan, dijual sekitar 20 yuan (Rp 30 ribu).
Terus terang, setelah menyaksikan tarian dari perkampungan Wei, tenaga saya sudah habis. Padahal, saya baru menjelejah setengah dari taman. Sementara hari sudah menjelang sore. Akhirnya, saya pun memutuskan mengeliling setengah taman yang tidak bisa saya jelajahi dengan menggunakan jasa kereta keliling dengan pengunjung lain. Ini tentunya tidak gratis. Satu orang dikenakan biaya 25 yuan.
Setelah mengeliling taman mini Tiongkok ini dengan kereta, saya agak bernapas lega karena taman ini tidak secantik Folk Culture Village. Entah kenapa saya merasa geli melihat Tembok Cina dalam ukuran mini.
Terus terang, ini sangat menghilangkan kemegahan tembok itu sendiri. Begitu juga, lapangan Tianmen atau Istana Terlarang yang menjadi andalan turis jika berkunjung ke Beijing. Namun, bukan berarti taman ini tidak cantik. Dengan berbagai bangunan mungil sebagai penghias, taman ini memang satu taman asri yang super luas.
Taman seluas ini tidak mungkin saya temui di Jakarta.