Ghiboo.com - Di Indonesia, 75 persen bayi dibawah 3 bulan menderita regurtasi (gumoh). Bahkan, satu dari tiga ibu di seluruh dunia perlu mewaspadai dampak gumoh yang terjadi pada bayi mereka.
Gumoh merupakan peristiwa dimana bayi mengeluarkan kembali sebagian susu yang telah ditelan ketika beberapa saat setelah minum susu botol/menyusui. Biasanya, gumoh terjadi karena Klep penutup lambung belum berfungsi sempurna.
Dr Badriul Hegar, SpA., PhD dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM Jakarta menjelaskan bahwa bayi yang terus menerus mengalami gumoh berisiko menderita malnutrisi.
"Penelitian di RSCM pada tahun 2004 menunjukkan bahwa bayi yang mengalami regurgitasi lebih dari empat kali dalam sehari, mengalami kenaikan berat badan yang lebih rendah pada empat bulan pertama usia bayi," terangnya dalam sesi edukasi yang diselenggarakan PT Nutricia Indonesia Sejahtera di Bandung (4/5).
Penelitian di RSCM juga menunjukkan gejala gumoh pada bayi akan terus berkurang seiring bertambahnya usia bayi. Umumnya, intensitas gumoh yang normal adalah 4-5 kali setiap hari. Jika lebih dari itu, maka ibu harus segera menemui dokter.
"Setiap nutrisi yang masuk ke dalam lambung bayi belum sempat dicerna dengan sempurna sehingga berpotensi menyebabkan gumoh yang memicu terjadinya malnutrisi. Selain itu, rasa sakit juga akan dirasakan bayi karena adanya iritasi asam lambung dari perut hingga tenggorokan," tambah Prof Yvan Vandenplas dari divisi pediatrik gastro entrologi (spesialis pencernaan anak) University Brusel di Belgia.
Menurut Dr Hegar, gumoh bukanlah masalah yang serius selama bayi menunjukkan kondisi baik- baik saja. Tetapi perlu diwaspadai saat ketika setiap mengalami gumoh, bayi malah rewel, menangis dan menolak makanan.
"Harus diwaspadai karena takutnya ada kerusakan pada kerongkongannya. Jika terdapat luka pada kerongkongannya, menelan air saja anak sudah rewel dan menangis, yang nantinya mengarah pada anak tidak mau makan karena merasa sakit atau sulit setiap akan menelan makanan (dysphabia), sehingga terjadi penurunan berat badan," tambah Dr Hegar yang juga menjabat sebagai konsultan pediatrik gastro dari Ikatan Dokter Anak Indonesia.