Kompas.com - Memukul anak kerap dipakai sebagai cara orangtua untuk mendisiplinkan anaknya. Padahal memberikan hukuman fisik pada anak sebenarnya tidak dibenarkan karena berdampak jangka panjang pada perkembangan emosi anak.
Anak-anak yang kerap mendapat pukulan atau cubitan dari orangtuanya akan tumbuh dengan tingkat agresi yang tinggi terhadap orangtua, saudara, teman sebaya, atau pasangannya kelak. Ini karena anak-anak itu justru belajar bahwa tiap kali mereka marah atau kesal bisa diekspresikan dengan memukul.
Demikian kesimpulan hasil studi yang dipublikasikan belum lama ini dalam jurnal The Canadian Medical Association. Penelitian dilakukan dengan menganalisa dua penelitian yang berlangsung satu dekade.
Kendati hukuman fisik kini sudah jarang diterapkan para orangtua, tetapi kebanyakan orangtua masih menganggap bahwa hukuman fisik adalah bentuk hukuman yang bisa diterima. Dalam studi tahun 2008 di Amerika Serikat terungkap, 80 persen anak usia prasekolah pernah dipukul orangtua mereka.
Dampak pukulan fisik yang diterima anak, menurut peneliti, adalah gangguan mental. Selain lebih agresif, anak juga bisa mengalami kecemasan, depresi, serta beresiko kecanduan alkohol dan obat-obatan.
Riset pencitraan saraf juga menunjukkan adanya dampak pukulan fisik pada otak anak, terutama jika pukulan terkena pada bagian kepala. Akibat perubahan fungsi otak mereka lebih rentan pada godaan alkohol atau obat terlarang.
"Makin agresif anak, makin sering mereka mendapat pukulan dari orangtuanya. Sayangnya, hukuman itu bukannya mengurangi agresivitas anak, malah memperburuk," kata Ron Ensom, pekerja sosial di Children Hospital of Eastern Ontario, Kanada.
Orangtua diharapkan mampu mengendalikan emosinya saat menghadapi kesalahan Anak daripada menyesal kemudian. Apalagi tindakan pemukulan pada anak kerap memicu tindakan penganiayaan.